Sejarah Lokalisasi Prostitusi Kalijodo : Anak Muda dan Pelacuran.

SEJARAH TERBENTUK NYA NAMA KALIJODO


  Awal mula wilayah itu disebut Kalijodo karena bantaran kali di sana pada 1950-an menjadi tempat nongkrong muda-mudi Jakarta hingga banyak yang berjodoh. Selama 20 tahun, ketika pendatang kian banyak, kali menjadi kotor dan Kalijodo menjadi tempat selingkuh, hingga akhirnya menjadi lokasi prostitusi pada 1970an. Jauh sebelum itu pada masa kolonial hindia belanda, lokalisasi Kalijodo punya nilai sejarah dalam perkembangan kota Jakarta. Dulunya, Kalijodo adalah sebuah lokasi sentral ekonomi hitam yang menghidupkan sebagian warga Jakarta yang bermain didalam nya. Asal mula Kalijodo itu sendiri sebenarnya merupakan tempat persinggahan etnis Tionghoa yang mencari gundik atau selir. 

    Nama Kalijodo yang terletak di Kelurahan Pejagalan, Kecamatan Penjaringan, Jakarta Utara, menjadi bahan pembicaraan menarik saat ini. Pasal nya, sejak tahun 2013 lokalisasi terbesar kedua dijakarta setelah keramat tunggak koja jakarta utara ini, menimbulkan kontroversi diantara masyarakat. Ada yang pro dan ada yang kontra. Namun gubernur pada saat itu Basuki Tjahya Purnama atau Ahok, berhasil menggusur lahan berdosa tersebut dengan proses yang tak memakan waktu lama. Hanya dalam waktu 2 Tahun, Ahok dapat meratakan lokalisasi tersebut dan menjadikan nya lokasi RPTRA Kalijodo, yang dapat dimanfaatkan oleh warga sekitar bahkan dari luar wilayah tersebut. 


    Melirik ke beberapa abad silam sekitar tahun 1600-an, Jakarta masih terkenal dengan nama Batavia. Pada masa kekuasaan Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC), mayoritas penduduk yang ada di sana adalah etnis Tionghoa. Masyarakat berlatar belakang etnis Tionghoa ini adalah orang-orang yang melarikan diri dari Manchuria. Wilayah yang dulunya terletak di dekat perbatasan Korea Utara dan Rusia ini sedang mengalami perang. Saat melarikan diri ke Batavia, mereka tidak membawa istri, sehingga mereka pun akhirnya mencari gundik atau pengganti istri di Batavia.

    Dalam proses pencarian gundik, mereka kerap kali bertemu di kawasan bantaran sungai. Lalu tempat yang dijadikan dianggap menjadi pertemuan pencarian jodoh dinamakan Kalijodo. Dalam bahasa Jawa artinya “Sungai Bertemunya Jodoh”. Para calon gundik ini mayoritas didominasi oleh perempuan lokal. Para gadis pribumi akan menarik pria etnis Tionghoa dengan menyanyi lagu-lagu klasik Tionghoa di atas perahu yang tertambat di pinggir kali. Pada masa tersebut, perempuan yang akan menjadi gundik disebut Cau Bau. Cau Bau dianggap memiliki derajat yang lebih tinggi dibandingkan pelacur. Kendati demikian, di lokasi tersebut masih berlangsung aktivitas seksual dengan transaksi uang.

    Cau Bau artinya adalah perempuan. Cau Bau ini bisa disamakan dengan Geisha dalam kebudayaan Jepang. Mereka bukan bertujuan untuk melacur, tapi perempuan tersebut menghibur dan mendapatkan uang atas pekerjaannya. 

KALIJODO ERA MODERN

    Seiring berjalannya waktu pada abad 20, Kalijodo kini telah berkembang menjadi tempat hiburan yang tidak hanya diincar para pria asal etnis Tionghoa. Bahkan masyarakat pribumi dan etnis lain juga ikut menikmati. Alhasil, hal ini pun membentuk Kalijodo sebagai sebuah tempat yang terkenal dengan daerah pelacuran. Bahkan setelah pemerintah menutup lokalisasi pelacuran Kramat Tunggak pada tahun 1999, Kalijodo kian ramai dikunjungi. 


    Faktanya, orang Jakarta sejak zaman dulu selalu menamakan suatu tempat berdasarkan peristiwa yang pernah terjadi. Contohnya adalah Kalijodo yang dulunya sering digunakan para gadis dan pria berpacaran. Dan berakhir dengan perjodohan. Selain itu, tiap tahun di tempat ini juga sering diselenggarakan pesta Peh Coen Imlek. Pesta ini sering didatangi oleh muda-muda yang ingin menyaksikan beragam keramaian, seperti barongsai, pesta ngibing diiringi gambang keromong dan lain-lain. 

Komentar